Jepang Kini: Menuju Penggratisan Tol
Posted on 8 September 2009 by Alumni Unesa
Tadi melihat TV di chanel 11. Dibahas permasalahan-permasalahan Jepang mendasar dalam hubungannya dengan kemenangan Partai Demokrat, partai yang didominasi oleh kaum muda Jepang. Ada empat permasalahan mendasar yang dibahas dalam bincang santai di TV itu yaitu penggratisan jalan tol, kemandirian pangan, pangkalan militer Amerika, dan perawat. Semuanya ini dibahas dalam rangka PR untuk pemerintahan baru.
Empat permasalahan ini akan dikemukakan di sini dalam empat judul (satu-satu ya). Semoga saja bahasa Jepang saya tidak keliru dalam menangkap isi perbincangan itu. Kesan pertama tentang acara TV itu adalah betapa permasalahan yang dibahas itu sulit tapi penyajiannya begitu sederhana. Bahkan orang-orang yang diajak ngobrol itu adalah orang awam yang tidak tahu permasalahan berat yang dihadapi Jepang. Saya berharap TV Indonesia bisa membuat program obrolan diselingi penyajian data yang amat sederhana, sehingga orang awampun bisa mengerti permasalahan yang sedang dibahas.
Dalam tulisan pendek ini akan mengulas beberapa poin yang sempat saya catat tentang penggratisan jalan tol di Jepang. Rupanya penggratisan tol ini menjadi program utama yang dikemukakan oleh partai Demokrat ketika kampanye.
Pembangunan jalan tol di Jepang sudah dimulai pada tahun 1956. Biaya pembangunan diperoleh dari Bank Dunia. Jalan tol pertama yang dibangun itu adalah Tomei (Tokyo-Nagoya) dan Meishin (Nagoya-Osaka???). Kenapa ketika lewat jalan tol harus membayar, padahal kalau lewat jalan biasa tanpa bayar. Tentu saja jawaban sederhananya adalah untuk membiaya pembangunan jalan tol itu. Betul. Jepang harus mengembalikan pinjaman Bank Dunia untuk pembangunan tol tersebut.
Sebenarnya pembayaran hutang Jepang kepada Bank Dunia sudah lunas pada tahun 1990, tapi kenapa sampai tahun ini kalau masuk tol masih harus tetap membayar? Ternyata kebijakan Jepang waktu itu adalah uang tol setelah tahun 1990 itu digunakan untuk membangun tol di seluruh Jepang. Dan tentu saja dengan uang tol itu tidak dapat untuk membangun tol seluruh Jepang, akibatnya Jepang masih harus mengutang. Mengutang kepada siapa? Kepada Masyarakat Jepang sendiri. Uang mana yang diutang untuk membangun tol itu. Jawabannya adalah uang “nganggur” yang ada di Bank Pos (yubin chokin). Hutang Jepang saat ini kepada masyarakat Jepang adalah 31 oku yen. 31 oku yen itu berapa nolnya…. embuh itungen dewe. (Uang yang ada di Bank Pos Jepang keseluruhan adalah 304 oku yen).
Konon utang untuk pembangunan tol di seluruh Jepang ini, pemerintah baru akan bisa melunasinya sampai tahun 2050. Waduh suwene rek.
La terus. Katanya jalan tol oleh partai demokrat akan digratiskan, mbayarnya pakai apa? Ya Apalagi kalau bukan dari pajak. Logikanya di mana? Kalau jalan tol digratiskan, biaya pengangkutan (yang tentu saja memakai jasa jalan tol) akan turun. Kalau biaya angkut turun otomatis barang-barang akan murah. Artinya, sandang pangan akan amat terjangkau oleh masyarakat Jepang. Tapi mekanismenya bagaimana? Embuh, yang jelas ndak dibahas dalam perbincangan itu. Kita disuruh melihat saja bagaimana pemerintahan baru Jepang (by Demokrat) akan mengelola masalah penggratisan jalan tol ini.
Nagoya, Ramadhan 2009
Roni
Posted on
10.04
- by hanifkun
In:
Artikel

Ahad, 6 Desember 2009, HTI Chapter Kampus Surabaya menggelar Aksi terkait Skandal Bank Century. Aksi ini diikuti +300 massa, dari kampus ITS, UNESA, IAIN, UNAIR, ITATS, dll.
Aksi yang dilakukan di depan Gedung Grahadi ini diisi orasi oleh Ust. Arif Firmansyah (Dosen FE Unair), Ust. Fikri Arsyad (Ketua DPD Kota Surabaya), diselingi Teatrikal gabungan dari berbagai kampus, dan dilanjutkan orasi oleh Ahsan (Chapter IAIN)
Dalam Orasinya Ust arif Firmansyah dosen FE Unair menyatakan : “Kasus Century ini bukan lagi kebijakan, tetapi adalah perampokan oleh negara. Hal ini adalah konsekuensi Washington Consensus yang mengharuskan negara melindungi kepentingan swasta walaupun harus dengan “merampok” uang rakyat. Kasus-kasus seperti ini akan muncul lagi selama Kapitalisme, Neo Liberalisme masih bercokol dan satu-satunya solusi adalah dengan mengganti sistem yang ada dengan syariah dalam bingkai negara Khilafah yang akan menerapkan ekonomi Islam yang mampu menjaga hak ummat dan menjamin kesejahteraannya”.
Teartikal dengan tema “Cent to RI” hanya satu sen untuk rakyat Indonesia, menggambarkan betapa tidak amanah dan korupnya rezim, dimana untuk kepentingan rakyat banyak mereka lamban dan pelit untuk mengeluarkan dana yang sejatinya adalah hak umat, tetapi untuk kepentingan kapitalis mereka ramai dan bersegera membantu problem mereka, walaupun itu harus dilakukan dengan merampok dan melakukan kebohongan publik. Aksi akhiri dengan dengan pembacaan Pres Release oleh Ust. Alvin Ketua LTJ DPD HTI Kota Surabaya.
Terorisme Bukan Jihad
Oleh Hanif Kristianto, S.Pd*)
Peristiwa pengeboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton (17 Juli 2009) membuat negeri ini bergejolak lagi. Masih teringat di benak masyarakat Indonesia bahwa aksi tersebut merupakan aksi terror. Tidak dapat dipungkiri tuduhan-tuduhan miring terkait aksi terror dialamatkan pada Jamaah Islamiyah (JI).
Tuduhan tersebut tidak hanya berimbas pada JI, namun juga bagi kaum muslim seluruhnya. Bisa dibayangkan pesantren, santri, dan gerakan Islam mulai diawasi oleh pihak keamanan. Hal ini tentu menunjukkan seolah-oleh mereka (pesantren, santri, dan gerakan Islam) adalah teroris. Padahal mereka tidak pernah mengajarkan teror dan kekerasan. Tudingan jika mereka gerakan teroris merupakan salah alamat.
Siapa Teroris Sejati?
Nampaknya, perlu dikaji ulang siapa yang layak disebut teroris. Jika dilihat peristiwa pembunuhan massal kaum muslim oleh pasukan Amerika di Irak, Afganistan, dan negeri lainnya merupakan tindakan terorisme. Pembunuhan dan pembantaian kaum muslim di Palestina juga tindakan terorisme. Yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka (Amerika, Israel, dan sekutunya) tidak disebut terorisme. Ini sungguh tidak adil. Bahkan masyarakat dunia pun seolah diam ketika melihat pembunuhan kaum muslimin.
Semenjak peristiwa keruntuhan WTC 9 September 2001, Amerika mulai menggunakan stilah war on terorism (WOT) untuk memerangi teroris. Bukti nyata dapat dilihat pada penyerangan Taliban di Afganistan, pemberantasan gerakan Islam di Pakistan dan Kashmir. Hal ini tentu menunjukkan seolah-olah Amerika polisi dunia yang sanggup memerangi terorisme.
Isu WOT nampaknya didukung oleh negara-negara lain. Negara yang mendukung merupakan negara yang dilanda konflik terkait dengan tindakan pengeboman. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut andil dalam WOT. Wujud dukungan Indonesia adalah dibuatkan UU Antiteror. Intelejen indonesia disebar di berbagai tempat untuk memantau kegiatan kaum muslim. Bahkan yang lebih mencenganggkan, intelejen asing dengan mudah masuk wilayah Indonesia. Umat Islam seharusnya sadar dan paham bahwa sesungguhnya isu WOT digunakan oleh Amerika dan sekutunya untuk memerangi umat Islam. Tidak ada tujuan lain, selain ingin memerangi Islam.
Mendefinisikan Jihad
Ada semacam rencana untuk mendistorsi makna jihad setelah peristiwa pengeboman. Jika yang terjadi demikian, hal ini merupakan penyesatan informasi. Secara bahasa, jihad berasal dari kata juhd (jerih payah), yang bermakna thâqah (kemampuan) dan matsaqah (kesukaran). Dari kata juhd juga dibentuk kata mujâhadah. Karena itu, secara bahasa jihâd/mujâhadah bermakna:
1. Mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.)
2. Mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).
Di dalam al-Quran jihad dalam makna bahasa ini terdapat, antara lain, dalam (QS al-Ankabut [29]: 69), (QS al-Furqan [25]: 52), (QS al-Furqan [25]: 52)
Makna bahasa yang terdapat di dalamnya adalah mujâhadah (perang) terhadap hawa nafsu, setan, dan kefasikan; keberanian menegur keras para penguasa dengan cara menyerunya dan melarangnya; serta kesungguhan dalam mengerahkan segenap kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban atau dalam menjaga taklif-taklif (beban) syariah.
Adapun dalam pengertian syar‘î (syariat), para ulama dan ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai:
1. Upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam berperang di jalan Allah secara langsung, atau membantunya dengan harta, dengan (memberikan) pendapat/pandangan, dengan banyaknya orang maupun harta benda, ataupun yang semisalnya.
2. Upaya mengerahkan segenap jerih payah dalam memerangi kaum kafir.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara syar‘i, jihad dimaknai dengan al-qitâl (perang), yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Bahkan itulah yang disebut dengan jihad yang sebenarnya.
Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl. I/12). Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa' 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12. Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).
Jihad Defensif dan Jihad Ofensif
Dengan menganalisis nash-nash al-Quran maupun as-Sunnah, jihad dalam pengertian perang (al-qitâl) terdiri dari dua macam: (1) Jihad defensif (difâ‘i); (2) Jihad ofensif (hujûmi).
Pertama: jihad defensif, yakni perang untuk mempertahankan/membela diri. Jihad ini dilakukan manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim. (Lihat, antara lain: QS al-Baqarah 190).
Jihad defensif ini juga dilakukan manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. (Lihat, antara lain: QS al-Anfal [8]: 72).
Kedua: Jihad ofensif, yakni memulai perang. Jihad ini dilakukan manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Islam dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non-fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya. Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara
Terorisme Bukan Jihad
Dari penjelasan mengenai adab berjihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (seperti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya: (1) Tindakan tersebut dilakukan bukan dalam wilayah perang; (2) Tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar (QS al-Isra' [17]: 33; QS. an-Nisa’ [4]: 93; QS an-Nisa' [4]: 29). Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
*) Staf Pengajar Bahasa Jepang SMA Muhammadiyah 4 Surabaya

Langganan:
Postingan (Atom)