SELAMATKAN LISTRIK DARI UNBUNDLING PLN MENUJU ELECTRICITY FOR ALL 2020 oleh:Hanif Kristianto dan Panca Kurniawan J. Listrik menjadi bagian tidak terpisahkan dari hidup manusia. Listrik adalah bentuk energi sekunder yang memiliki sifat fleksibel, sehingga mampu diubah ke bentuk energi lain seperti: mekanik, panas, kimia, cahaya dan elektronik. Listrik juga mudah dipindahkan dari tempat asal energi primernya ke pengguna yang membutuhkan. Selama ini kebutuhan listrik rakyat dipasok oleh PLN(Perusahaan Listrik Negara). PLN menjadi satu-satunya perusahaan yang melayani rakyat dalam urusan ketenagalistrikan. PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Setelah adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) akibat kenaikan BBM, PLN berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Perubahan menjadi PT berakibat saham PLN tidak menjadi milik penuh pemerintah. Pemerintah membuka bagi siapa saja yang mau membeli saham PT PLN. Dampak yang ditimbulkan dari pembelian saham PLN adalah orientasi PLN menjadi berubah. PLN tidak lagi berpikir cara menyediakan listrik yang layak bagi rakyat, namun hanya berorientasi pada cara meraup laba dan tidak boleh merugi. Kebijakan tersebut mengorbankan rakyat. Senada dengan hal tersebut pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa PLN 8 Januari 2008 telah disahkan Rencana Kerja Perusahaan PLN tahun 2008. Hasil yang dicapai adalah pembentukan lima anak perusahaan distribusi. Kelima anak perusahaan distribusi adalah distribusi Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, serta satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali yang akan dibentuk paling lambat akhir tahun 2008. Pada RUPS ditetapkan juga pembentukan dua BUMN Pembangkitan yakni PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali. Dengan demikian hasil keputusan tersebut merupakan pelaksanaan UU Ketenagalistrikan sebagaimana telah dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2005 tentang Ketenagalistrikan dan Permen Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengaturan Transmisi Tenaga Listrik atau Grid Code(www.kompas.co.id). Keputusan ini merupakan realisasi dari rencana unbundling atau pemecahan baik secara vertikal (fungsional) maupun horizontal (kewilayahan) sebagaimana disebut dalam UU No.20/2002 tentang ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemecahan vertikal PLN dilakukan melalui pembentukan perusahaan pembangkitan, transmisi, dan distribusi secara terpisah. Pemecahan vertikal PLN juga berakibat beban biaya setiap perusahaan berbeda-beda dan biaya ditanggung konsumen. Selain itu orientasi pelaku usaha swasta hanya berdasar pada keuntungan dari pasar yang sudah terbentuk. Unbundling merupakan satu tahap menuju profitisasi dan privatisasi serta divestasi sebagaimana disebut dalam roadmap buku putih Departemen Pertambangan dan Energi tahun 1998 (Al-Islam, edisi 391/XV). Unbundling juga bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana dijelaskan bahwa listrik adalah cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu listrik dikuasai oleh negara demi terjaminnya kehidupan rakyat. Pengelolaan listrik oleh perusahaan swasta nasional maupun asing hanya diperbolehkan ketika diajak bekerja sama. Memahami makna Profitisasi, Privatisasi, dan Divestasi Profitisasi berasal dari kata profit. Profit adalah untung; keuntungan; manfaat (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2000). Kata profit mendapat tambahan –isasi menjadi profitisasi. Kata profitasisasi menunjukan sikap pengambil keuntungan. Adapun privatisasi adalah perbuatan yang mengalihkan pemilikan Negara menjadi milik pribadi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000) padanan privatisasi adalah swastanisasi. Swastanisasi adalah proses peralihan produksi barang dan jasa dari sektor pemerintah ke sektor swasta Dalam bidang ekonomi privatisasi adalah penjualan sebagian atau semua saham sebuah perusahaan milik pemerintah kepada publik, baik melalui penjualan langsung ke perusahaan swasta nasional dan asing melalui bursa efek (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Makna divestasi adalah pelepasan; pembebasan; pengurangan modal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Divestasi dilakukan dengan cara menjual aset perusahaan kepada pihak lain. Mengenal PLN Sejarah Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk kepentingan umum, diawali dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM yang memperluas usahanya dari hanya di bidang gas ke bidang tenaga listrik. Selama Perang Dunia II berlangsung, perusahaan-perusahaan listrik tersebut dikuasai oleh Jepang dan setelah kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, perusahaan-perusahaan listrik tersebut direbut oleh pemuda-pemuda Indonesia pada bulan September 1945 dan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 27 Oktober 1945, Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas, dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik hanya sebesar 157,5 MW. Tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas. Tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan dan dibentuk 2 perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengelola gas. Saat itu kapasitas pembangkit tenaga listrik PLN sebesar 300 MW. Tahun 1972, Pemerintah Indonesia menetapkan status Perusahaan Listrik Negara sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN). Tahun 1990 melalui Peraturan Pemerintah No. 17, PLN ditetapkan sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan. Tahun 1992, pemerintah memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan tenaga listrik. Sejalan dengan kebijakan di atas, pada bulan Juni 1994 status PLN dialihkan dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Dasar hukum perusahaan yang digunakan PLN sebagai berikut 1. Anggaran Dasar PLN tahun 1998. 2. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1994 tentang 3. Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara 4. menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 5. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). 6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1998 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas. 7. Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1998 tentang Pengalihan Pembinaan terhadap Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki Negara Republik Indonesia kepada Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Kebijakan manajemen perusahaan merupakan langkah strategis yang diambil untuk menjalankan roda kehidupan perusahaan. PLN mempunyai dua tantangan pada tahun 2003. Pertama, membaiknya perekonomian nasional yang memberikan dampak membaiknya pertumbuhan ketenagalistrikan di Indonesia. Kedua, adanya UU No. 20 tahun 2002 yang merubah lingkungan bisnis kelistrikan menjadi sarat dengan kompetisi. Untuk itu segala upaya dilakukan agar PLN bertahan dan menjadi perusahaan yang terkemuka di jajaran perusahaan dunia. Upaya itu antara lain Pelaksanaan program Restrukturisasi Korporat dan Road Map Perusahaan. Perkembangan PLN menuju kompetisi bisnis telah mendirikan enam anak perusahaan dan satu perusahaan patungan yaitu : a. PT Indonesia Power; yang bergerak di bidang pembangkitan tenaga listrik b. PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) yang bergerak di bidang pembangkitan tenaga listrik c. Pelayanan Listrik Nasional Batam (PT PLN Batam); yang bergerak dalam usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum di Wilayah Pulau Batam. d. PT Indonesia Comnets Plus, yang bergerak dalam bidang usaha telekomunikasi. e. PT Prima Layanan Nasional Enjiniring ( PT PLN Enjiniring), bergerak di bidang Konsultan Enjiniring, Rekayasa Enjiniring dan Supervisi Konstruksi. f. Pelayanan Listrik Nasional Tarakan (PT PLN Tarakan), bergerak dalam usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum di wilayah Pulau Tarakan. g. Geo Dipa Energi, perusahaan patungan PLN - PERTAMINA yang bergerak di bidang Pembangkit Tenaga Listrik terutama yang menggunakan energi Panas Bumi. Sebagai Perusahaan Perseroan Terbatas, maka Anak Perusahaan diharapkan dapat bergerak lebih leluasa dengan antara lain membentuk Perusahaan Joint Venture, menjual Saham dalam Bursa Efek, menerbitkan obligasi dan kegiatan-kegiatan usaha lainnya. Di samping itu, untuk mengantisipasi Otonomi Daerah, PLN juga telah membentuk Unit Bisnis Strategis berdasarkan kewilayahan dengan kewenangan manajemen yang lebih luas. Rencana pemerintah untuk menyejahterkan rakyat melalui listrik dimulai dengan mengusung electricity for all. Target terpenuhinya kebutuhan listrik pada tahun 2020. Sehingga rasio elektrifikasi pada tahun 2020 mencapai 100 persen. Saat ini elektrifikasi mencapai 56 persen. Desa yang teraliri listrik mencapai 96 persen, sehingga untuk mewujudkan elektrifikasi 100 persen dibutuhkan upaya dan kerja keras. Selain itu juga dibutuhkan strategi agar bisa berjalan dengan baik sesuai rencana (www1.esdm.go.id). Kondisi PLN Keputusan unbundling membuat kegoncangan di tubuh PLN. Daryoko (2008) mengungkapkan kondisi PLN terbagi menjadi tiga: Pertama, di tubuh PLN ada kesenjangan dalam beberapa faktor yakni biaya produksi dan harga jual. Terkait biaya produksi banyak didominasi oleh pembangkit berbahan dasar minyak. PLN membeli minyak ke Pertamina dengan harga komersial, bukan harga subsidi. Ketika harga BBM $ 100/barel maka PLN membeli dengan harga Rp 7.000-Rp.7.500/liter. Pembangkit yang berbahan bakar minyak sejumlah 36%, ini artinya biaya produksinya Rp 38-40 triliun/tahun. Hal inilah yang membuat PLN merugi. Kedua, adanya inefisiensi sistemik. Terkait inefisisensi pada tahun 80-an PLN sudah menyiapkan pembangkit yang bisa dioperasikan dengan bahan bakar gas dan minyak yang bisa menghasilkan daya 7.500 megawatt seluruh Indonesia. Pembangkit ini seharusnya diopersikan dengan gas karena biayanya lebih murah. Pengopersian dengan gas membutuhkan biaya 7 triliyun/tahun. Gas saat ini tidak ada karena ada regulasi minyak dan gas yang jatuh. Sebagian besar gas justru diekspor ke luar negeri, sehingga pasokan dalam negeri berkurang. Dengan demikian ketika PLN memutuskan memakai minyak maka biaya yang akan dikeluarkan Rp 33 triliyun/tahun. Di sinilah letak inefisensi sebesar Rp 26 trilyun/tahun. Ketiga, masalah SDM. Di tubuh PLN masih ditemui prilaku dari SDM PLNyang tidak sesuai dengan aturan, seperti korupsi, mark up, dan manipulasi. Hal ini bergantung pada pembinaan instansi di atas PLN yakni Meneg-BUMN sebagai pemegang saham. Begitu juga Meneg-BUMN mengikuti rambu-rambu yang dirancang oleh Menteri-ESDM. Terkait masalah keuangan mengikuti departemen keuangan. Mengenai pengawasan jalannya kinerja diawasi oleh DPR Komisi VII. Banyaknya instansi di atas PLN tidak melakukan pembinaan dengan efektif. Bahkan malah membinasakan. Dalam artian mereka mengintervensi. Hal ini bisa dilihat ketika DPR mengundang rapat dengar pendapat yang ujung-ujungnya ada oknum yang meminta proyek. Masalah tersebut menjadikan PLN tidak efisien bahkan banyak cost yang dihamburkan dalam rangka menjaga keseimbangan direksi PLN dengan instansi di atasnya. Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah akan membuat kebijakan ke arah kapitalis karena PLN inefisiensi dan merugi. Hal ini jelas akan mengarah pada upaya privatisasi. Mengurai Unbundling Upaya unbundling yang sekarang menuju ke arah privatisasi di bidang energi terkait listrik sebetulnya telah dimulai sejak tahun 1985 dengan dikeluarkan UU No. 14/1985 yang memberikan kemungkinan bagi swasta ikut menyediakan listrik sekaligus menjualnya kepada PLN. Berikutnya, tahun 1989, Bank Dunia melakukan pengkajian sektoral masalah kelistrikan di Indonesia yang merekomendasikan pengenalan kompetisi dan kemungkinan munculnya privatisasi. Setahun kemudian, Presiden Soeharto menyetujui proyek pembangkit listrik swasta. Peraturan pelaksanaan dari UU No. 14/1985 sendiri baru diterbitkan tahun 1992 dengan dikeluarkan PP No. 37. Padahal, swasta sudah mulai membangun pembangkit listriknya sejak 1990. Karena itu, dapat diduga bahwa PP No. 37 tahun 1992 tersebut lebih banyak mengakomodasi kepentingan swasta. Sebab, jika pemerintah melakukan perubahan drastis yang merugikan listrik swasta, pemerintah dapat digugat pihak swasta. Karena itulah, PLN tetap harus membayar pihak swasta—baik ada listrik atau tidak—dengan harga lebih tinggi dari harga sewajarnya. Adanya krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia memang telah menunjukkan tanda-tanda membaik. Perubahan pranata kelembagaan perekonomian di Indonesia akan membekas untuk jangka waktu yang lama. Walaupun reformasi ekonomi ini sebenarnya sudah menjadi agenda sejak lama, krisis menjadikannya agenda nomor satu di Indonesia. Reformasi ekonomi dalam bentuk restrukturisasi, liberalisasi, dan privatisasi terjadi di hampir semua sektor, salah satunya di sektor kelistrikan. Di Indonesia yang saat ini masih terlibat hutang, peran lembaga pemberi hutang besar sekali adanya dalam mendorong agenda liberalisasi ekonomi ini. Upaya pemerintah untuk mendepolitisasi listrik mengalami jalan mendaki yang terjal. Masyarakat tidak bisa begitu saja meyakini keputusan pemerintah. Bagaimana tidak. Kepentingan masyarakat memang telah dikorbankan atas nama pembangunan. Di sektor kelistrikan, proses reformasi dalam bentuk restrukturisasi dan privatisasi memiliki resiko yang besar. Dalam hal ini pemerintah mengabaikan, bahkan menelikung kepentingan masyarakat. Keinginan masyarakat untuk mendapat pelayanan yang berupa listrik murah serta perlindungan lingkungan bisa saja dikebiri atas nama kelayakan ekonomi atau upaya untuk menarik investor. Dalam buku putih Departemen Pertambangan dan Energi 1998 disebutkan bahwa kebijakan kelistrikan adalah unbundling untuk mewujudkan profitisasi dan pada akhirnya akan terjadi privatisasi dan divestasi(Al-Islam, edisi 391/XV). Selama ini PLN adalah perusahaan penyedia listrik yang mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 60 trilyun pertahun (Al-Khaththath:2008). Besarnya subsidi karena ada inefisiensi. Inefisiensi adalah akibat dari UU Migas yang menyebabkan perusahaan-perusahaan asing yang menyedot gas di Indonesia mengekspor hampir semua hasilnya ke luar negeri. Hanya 25% yang dijual di dalam negeri (Al-Khaththath:2008). Untuk kebutuhan listrik seluruh rakyat Indonesia pertahun dengan bahan bakar gas maka dibutuhkan biaya 7 triliyun. Akibat gas dijual ke luar negeri maka PLN membeli BBM yaitu solar untuk kepentingan menggerakkan mesin-mesin diesel. Maka pemerintah mengeluarkan 32 triliyun. Dalam hal ini pemerintah rugi 25 triliyun. Ini menjadi bukti penerapan UU Migas yang menyengsarakan pemerintah. Adanya unbundling juga menimbulkan kenaikan harga listrik 50% karena adanya beban biaya pada tiga entitas kelistrikan yang berbeda yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi, yang sebelumnya menjadi satu di bawah PLN. Hal ini jelas akan menimbulkan kerugian pada konsumen. Karena unbundling Dirjen Pajak akan mengenakan pajak untuk masing-masing anak perusahaan walaupun masih menjadi bagian PLN. Dari pajak dan biaya operasioanalnya kesemuanya akan naik 50%. Sehingga seluruh rakyat yang jadi konsumen listrik terbebani. Ditambah lagi dengan visi profitisasi yang membuat PLN hanya sebagai perusahaan yang menyetak profit. Hal ini akan membawa PLN untuk lepas dari tanggung jawab sebagai pemberi layanan publik yang semestinya dilakukan negara. Selain itu unbundling akan menimbulkan kecurangan-kecurangan pada saat kondisi jam-jam penuh (peak load) yaitu pukul 15.00-22.00. Ketika pengendalian distribusi listrik masih dilakukan PLN semua Genereal Manager pada tiap anak perusahaan tidak akan berani berbuat curang. Kelanjutan profitisasi adalah privatisasi dan divestasi. Hal ini berarti saham PLN dijual kepada swasta. Adanya privatisasi dalam sektor kelistrikan terkait erat dengan UU Penanaman Modal (PM). UU PM Nomor 25 tahun 2007 dijelaskan bahwa swasta asing berhak menguasai saham 100% usaha di Indonesia. Ketika saham PLN dikuasai swasta asing 100% maka peran pemerintah sebagai pelayan rakyat hilang. Swasta asing akan mudah menekan kebijakan pemerintah dan menyengsarakan rakyat. Pemerintah sebagai pelayan rakyat sejatinya tetap memegang teguh pasal 33 UUD 1945. Akibat penguasaan swasta asing muncullah kenaikan harga yang berlipat dari harga standar. Privatisasi dijadikan alasan PLN agar bisa bersaing dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. PLN sebagai perusahaan tidak ingin merugi. Privatisasi juga dijadikan sebagai alasan menghasilkan keuntungan-keuntungan, namun privatisasi sebenarnya menimbulkan ekses-ekses berbahaya yang akhirnya menafikan dan menghapus keuntungan yang diperoleh. Jati (2004) menjelaskan bahaya dan kerugian yang timbul akibat privatisasi secara umum. 1. Terpusatnya aset suatu negeri –di sektor pertanian, industri, dan perdagangan—pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar dan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset tersebut. Aset tersebut akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Dengan demikian, privatisasi akan memperparah buruknya distribusi kekayaan. Hal ini telah terbukti di negeri-negeri kapitalis, khususnya Amerika Serikat dan Eropa. 2. Privatisasi di negeri ini yang dibarengi dengan dibukanya pintu untuk para investor asing –baik perorangan maupun perusahaan— berarti menjerumuskan negara ini dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri ini. Selanjutnya, akan terjadi perampokan kekayaan negara dan sekaligus pengokohan dominasi politik atas penguasa dan rakyat di Negara tersebut. Para investor asing itu jelas hanya akan mencari laba sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat terhadap barang dan jasa. Mereka juga tak akan mempedulikan upaya membangkitkan industri di negeri tesebut. Ironisnya, beberapa negara yang tunduk pada ketentuan privatisasi memberikan sebutan “strategic partner” (mitra strategis) kepada para investor asing tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberikan image bahwa mereka itu “baik”, seraya menyembunyikan hakikat yang sebenarnya. 3. Pengalihan kepemilikan—khususnya di sektor industri dan pertanian—dari kepemilikan Negara atau umum menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakitbatkan PHK atau pengurangan gaji pegawai. Sebab investor dalam sistem ekonomi kapitalis cenderung beranggapan bahwa PHK atau pengurangan gaji pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk. Pada gilirannya, jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah. Padahal sudah diketahui bahwa pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, tingkat produksi, dan pertumbuhan ekonomi. 4. Menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya adalah negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Negara tidak akan sanggup melaksanakan banyak tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya, karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Negara tak akan mampu lagi memenuhi secara sempurna kebutuhan pokok bagi rakyat yang miskin. Negara juga tak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang kesehatan dan pendidikan secara layak, dan lain-lain. 5. Negara akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya. Dan negara tak akan mendapatkan sumber lain yang layak, selain memaksakan pajak yang tinggi atas berbagai pabrik, sektor, dan badan-badan usaha yang telah dijualnya maupun yang memang dimiliki oleh individu. Jelas ini akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani masyarakat. Dengan kata lain, konsumen sendirilah yang akan membayar pajak itu kepada negara, bukan para investor. Jika negara sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap rakyatnya, serta pengangguran terus meningkat, maka akan tercipta kondisi sosial yang rawan dan sangat membahayakan. 6. Dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif. Sebagian besarnya akan habis –sesuai dikte dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF—untuk dibelanjakan pada apa yang disebut dengan “pembangunan infrastruktur”, “pelestarian lingkungan”, “pengembangan sumber daya manusia”, dan sebagainya. Semua ini jelas merupakan pintu-pintu untuk menyerap modal asing dari luar. Ini merupakan tindakan menghambur-hamburkan kekayaan umat, dengan jalan membelanjakan harta umat untuk kepentingan investor asing. 7. Menghalangi masyarakat umumnya untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum, seperti air, minyak, sarana transportasi air, dan pelabuhan-pelabuhan. Dengan demikian, privatisasi merupakan kezhaliman yang merusak penghidupan rakyat. Penjelasan tersebut merupakan dampak privatisasi yang akan menimpa rakyat, ketika program privatisasi terus dijalankan oleh negara. Senada dengan hal tersebut terkait privatisasi PLN, Daryoko(2008) menjelaskan sebagaimana yang terjadi di Kamerun pemecahan PLN-nya karena dipaksa oleh IMF. Hal yang terjadi adalah praktik kartel dalam rangka menaikan harga listrik. Cara yang digunakan yaitu di antara perusahaan pembangkit bekerjasama pura-pura rusak atau menggunakan alasan turbin jebol, generator jebol, dan lain-lain. Akibatnya, pada saat dibutuhkan ketika terjadi praktek kartel maka perusahaan pembangkit akan membangkitkan di bawah kebutuhan dan terjadi kenaikan harga. Selain itu adalah sistem PLN pengelolaan yang rentan diselewengkan. Ketika ritel PLN diprivatisasi maka unit pelayanan PLN yang ada akan dijual ke pengusaha-pengusaha. Masing-masing ritel PLN berbeda kepemilikannya. Penyampaian pengaduan ketika terjadi gangguan listrik konsumen hanya bisa mengadu kantor ritel di daerah tempat tinggalnya. Konsumen hanya bisa menanyakan ke badan pengawas kelistrikan tanpa bisa memberikan diagnosa dan penyelesaian atas gangguan listrik. Badan pengawas hanya bisa bertanya ke bagian distribusi, pembangkit, dan transmisi tanpa bisa memaksa jalur yang mengalami kerusakan untuk segera memperbaikinya. Yang terjadi adalah saling melempar tanggung jawab di antara instansi PLN, karena mereka mengkaliam yang rusak buka di bagiannya. Hal tersebut berbeda ketika PLN tidak terjadi unbundling, konsumen dimudahkan mengadukan kerusakan dengan menelepon 123 atau bagaian pengaduan. Di PLN ada bagian pengendali (Board of Directory) yang bidang memantau semua jalur sehingga dapat diketahui letak sumber kerusakannya. Langkah penyelesaian akan mudah karena masih dalam satu komando. Hal ini berbeda dengan badan pengawas yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali. Secara khusus dalam (Al-Islam edisi 112) dijelaskan terkait bahaya yang ditimbulkan akibat privatisasi. Sejumah bahaya yang akan muncul dari privatisasi kelistrikan itu antara lain: Pertama, dikuasainya listrik oleh sekelompok kecil pemilik modal. Akibatnya, nasib rakyat digadaikan ke tangan para pemilik modal. Ujung-ujungnya, rakyat menjadi korban keserakahan mereka. Kedua, para pemilik modal akan dapat memanfaatkan listrik sebagai alat politis demi kepentingan mereka menggelembungkan kekayaan. Listrik dapat mereka gunakan untuk mempengaruhi, menekan, bahkan mengendalikan kebijakan pemerintah. Semua itu berujung pada terkumpulnya faktor kekuasaan dan faktor ekonomi pada sekelompok orang pemilik modal. Privatisasi juga sarat dengan kepentingan politik. Pemerintah tampaknya khawatir, krisis kelistrikan akan menyebabkan mereka harus terpental dari kursi kekuasaan. Listrik akan dapat dijadikan sebagai alat untuk menggoyang pemerintah tatkala pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan para pemilik modal. Pemerintah akhirnya dikendalikan oleh para kapitalis pemilik modal. Para kapitalis itulah yang secara nyata memerintah. Jadilah, nasib rakyat berada di genggaman mereka. Ketiga, dalam segala usaha yang dilakukan, motif utama pihak swasta pastilah motif bisnis. Tujuan mereka adalah mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Mereka, misalnya, akan menganggap listrik sebagai komoditas murni tanpa harus dibebani untuk melayani kepentingan masyarakat. Fakta privatisasi kelistrikan di mana pun selalu mengakibatkan kenaikan harga listrik. Sebagai contoh di California AS. Seperti diungkapkan oleh Hotma Sitompul, Ketua umum Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI), setelah privatisai, harga listrik di wilayah itu naik menjadi 4 kali lipat (Republika, 5 September 2002). Ini terjadi di negara maju yang dikatakan lebih efisien. Dapat dibayangkan ketika privatisasi listrik ini tetap berlangsung di Indonesia yang terkenal sebagai negara yang tidak efisien. Dalam bidang ekenomi pihak swasta ketika menjalankan aktivitasnya, akan berpatokan pada prinsip ekonomi yang memang berjalan sesuai dengan kaidah berdagang, yaitu menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Artinya, konsekuensi logis yang harus siap diterima adalah swasta akan berusaha menekan sekecil mungkin biaya produksi dan seluruh komponen produksi lainnya yang bertujuan untuk meminimalisasi cost yang dikeluarkan. Akan tetapi, dengan modal sedikit ini diharapkan dapat diraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi dampak sosial yang menimpa masyarakat. Kalaupun terjadi pengambilan keuntungan dari hasil jual dari suatu produk yang besar yang pada akhirnya membebani masyarakat—dengan kondisi barang tersebut merupakan barang dasar yang mau tidak mau rakyat harus membelinya—maka bisa dibayangkan rakyat akan terpaksa membeli karena memang tidak ada pilihan lain selain untuk membeli. Hal ini bertentangan dengan fungsi pemerintah yang seharusnya berusaha mengelola aset-aset rakyat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Artinya, hasil olahan BUMN oleh pemerintah tidak akan dikenai biaya (gratis) ketika rakyat akan memanfaatkannya. Kalaupun dikenakan biaya, itu pun dengan harga yang minimal; sebatas biaya operasional saja; tidak ada niat sama sekali untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, ketika fungsi pemerintah diambil-alih oleh swasta dalam pengelolaan sektor ekonomi, harga-harga barang dan jasa semakin melambung akibat kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM. Selain itu, fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada swasta asing (misalnya melalui PMA) telah memberikan peluang bagi praktik eksploitasi dan pengurasan aset publik, yang kemudian diangkut ke luar negeri. Contohnya adalah adanya kebolehan menggunakan tenaga pemimpin dan ahli asing, pembebasan pajak, pemberian laba kepada pemegang saham di bawah lima tahun, biaya masuk perlengkapan tetap, izin usaha selama 30 tahun yang dapat diperpanjang, boleh transfer keluar negeri modal yang sudah dikurangi pajak dan kewajiban (UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing). Akhirnya, kesengsaraan rakyatlah yang terjadi. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa privatisasi, termasuk penanaman modal asing (PMA), merupakan alat penjajahan suatu negeri atas negeri yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa imperialisme ekonomi merupakan salah satu alat yang dipakai oleh AS dan Barat melalui kaki tangannya untuk lebih menancapkan hegemoninya dalam upayanya melanggengkan sistem kapitalis-sekular. Sebuah negara akan dengan mudah disetir dan bertekuk lutut pada negara lain ketika adanya kekuatan untuk mempengaruhi negara tersebut akibat adanya ketergantungan. Investasi asing merupakan salah upaya untuk menciptakan adanya sikap ketergantungan tersebut. Sayangnya, kondisi semacam ini terjadi di negeri kita. Karena itu, tidaklah aneh jika negeri ini tunduk dan patuh pada negara AS dan sekutunya. Asing di balik unbundling Indonesia sebagai negera berkembang berusaha untuk membangun negeri ini menjadi lebih baik. Untuk mewujudkannya dibutuhkan dana yang besar. Dalam hal ini negara berkembang tergantung pada pemberi dana pembangunan khususnya Bank Dunia dan IMF( Dubash:2002). Pada tahun 1990-an, institusi dana publik internasional mulai enggan melanjutkan pendanaan sarana publik yang terperangkap dalam lingkaran pemasukan rendah dan memburuknya kualitas. Sebagai tambahan, melanjutkan satu dekade “penyesuaian struktural”(structural adjustment) di negara-negara peminjam. Bank Dunia dan IMF mencoba memperluas peran sektor swasta dalam proses pembangunan. Pada tahun 1993, makalah kebijakan Bank Dunia menyatakan bahwa reformasi sektor tenaga listrik menjadi syarat yang eksplisit untuk melanjutkan pinjaman pada sektor tersebut (Bank Dunia, 1993 dalam Dubash:2002). Inti dari kebijakan baru ini adalah untuk memberanikan negara peminjam dalam merestrukturisasi berbagai sektor dan membukanya untuk mengundang partisipasi swasta yang lebih besar. Dalam hal ini, Bank Dunia meningkatkan pinjamannya untuk reformasi kebijakan. Perubahan ini tidak terbatas pada Bank Dunia saja, melainkan juga pada makalah kebijakan sektor energi tahun 1994 yang dibuat oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank 1994). Mengambil dana dari swasta untuk pembangunan sektor tenaga listrik bukanlah hal yang mudah. Ruang lingkup kelembagaan untuk investasi swasta di sektor ini belum ada. Seperti pengalaman Amerika Serikat, Inggris, dan Chile, negara-negara berkembang dan dalam status ekonomi transisi harus membuat peraturan-peraturan dan membangun suatu institusi baru untuk menarik pemodal. Pada model sarana publik, sektor energi dimasukkan ke dalam suatu jaringan yang saling berhubungan. Struktur ini tidaklah mengutamakan investasi tersendiri dengan profil risiko yang jelas dari pemodal swasta. Melainkan, ketergantungan terhadap pemodal swasta ini akan mendorong pemerintah untuk membagi sektor ini ke dalam komponen-komponen yang tersendiri (Balu:1997). Terakhir, kondisi sektor energi yang menyedihkan di banyak negara-negara yang potensial menerima pinjaman ini tidaklah menjanjikan harapan memperoleh keuntungan atau resiko yang rendah yang dapat diatasi. Maka, negara-negara peminjam dana berada dalam lingkaran setan. Untuk menarik modal, sektor energi ini harus dalam keadaan yang baik, sedangkan untuk memperbaiki sektor energi mereka memerlukan modal. Senada dengan hal tersebut pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan PP No. 23/1994 mengenai korporatisasi PLN. Mulai saat itu PLN dibebani untuk menyetor pemasukan bagi negara. Akibatnya, PLN dipaksa harus berorientasi profit. Kebijakan pemerintah selanjutnya adalah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi sektor kelistrikan yang dilanjutkan dengan lokakarya bersama lembaga donor. Kepentingannya jelas, yaitu untuk mendapatkan utang. Indonesia saat itu sudah berada dalam perawatan IMF dan menandatangai letter of intent (LoI). Di antara isi LoI itu adalah penurunan subsidi energi, termasuk listrik, dan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Pada saat itu, kajian sektoral Bank Dunia tahun 1989 menemukan momentum yang tepat untuk diterapkan dengan penuh kesungguhan. Akhirnya, ADB (Asia Development Bank) memberikan pinjaman US$ 400 juta dan US$ 400 juta dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Tindak lanjut dari program restrukturisasi tersebut adalah adanya kebijakan menaikkan tarif dasar listrik yang dilakukan secara bertahap sampai tahun 2005. Di balik upaya unbundling pada PLN, ada pihak asing yang berperan yaitu IMF. Kebijakan yang diambil pemerintah terkait unbundling bisa dilihat pada LoI poin 20. LoI tersebut disetujui pemerintah pada Januari 1998 untuk mengatasi krisis ekonomi. IMF sebagaimana tatkala terjadi krisis moneter IMF menawarkan dana bantuan dengan terlebih dahulu menandatangani Letter of Intent (LoI) sebagai syarat keluarnya dana. Letter of Intent merupakan surat penawaran pemerintah yang menguraikan kebijakan yang akan diterpakan agar mendapatkan dana dari IMF (International Monetary Fund). Hal ini dilakukan karena IMF mendukung keuangan pemerintah akibat krisis moneter (http://www.indonesia-ottawa.org). Akibatnya perkembangan perekonomian di Indonesia didesain oleh negara-negara kolonial. Desain in terjadi saat perpindahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru. Daryoko (2008) menjelaskan Jhon Perkins sebagai agen perusak perekonomian Indonesia berusaha merusak Indonesia melalui kelistrikan. Jhon Perkins pertama kali di Indonesia ditempakan di kantor PLN distribusi Bandung. Dia mendesain pertumbuhan ekonomi yang otomatis terkait dengan pertumbuhan kelistrikan yang melejit tinggi. Perencanaanya pada pada tahun 80-an akan terjadi pertumbuhan kelistrikan sebanyak 14% dan terus meningkat. Akibatnya, rezim Soeharto meminjam uang ke Bank Dunia untuk mengantisipasi pertumbuhan yang melejit. Ditambah lagi penguasa yang telah terkooptasi dengan utang. Utang yang ditinggalkan pada rezim orde baru akibatnya bisa dirasakaan saat ini. Rezim setelah orde baru membayar jumlah utang yang terus bertambah. Ketika waktu pembayaran utang tiba dikeluarkanlah keputusan untuk unbundling kelistrikan. Sudah semakin jelas kebijakan pemerintah sekarang menganut sistem kapitalis. Kepentingan rakyat diabaikan dan hanya mementingkan bebrapa orang saja, terutama pemilik modal. Kebebasan kepemilikan terhadap listrik yang merupakan kebutuhan rakyat banyak merupakan ide kapitalis yang bobrok. Akibatnya terjadi bencana berkepanjangan. Perbuatan-perbuatan hina merajalela di mana-mana dalam masyarakat kapitalis. Kejahatan terorganisir (mafia) muncul secara terang-terangan. Sikap individualisme dan egoisme diagung-agungkan sehingga rontoklah semangat hidup bersama. Sikap mementingkan diri sendiri menggantikan sikap mengutamakan orang lain. Penyakit-penyakit yang menakutkan pun merajalela akibat beredarnya segala macam barang dan jasa secara bebas, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan mereka; seperti obat-obat terlarang, jasa prostitusi, pornografi, dan lain sebagainya. Kebebasan ini telah menimbulkan pula akumulasi kekayaan yang melimpah-ruah di tangan segelintir orang yang disebut sebagai para kapitalis. Dengan kelebihan kekayaannya itu, mereka berubah menjadi satu kekuatan hegemonik yang menguasai dan mengendalikan masyarakat dan negara, baik dalam urusan politik dalam negeri maupun luar negerinya. Dari orang-orang kapitalis inilah, diambil nama bagi sistem mereka, yakni sistem Kapitalisme, karena aspek paling menonjol dalam masyarakat dengan sistem ini adalah pengaruh dan dominasi kaum kapitalis. Terkait privatisasi di berbagai bidang ada beberapa alasan yang sering dikemukakan akan pentingnya privatisasi, yakni bahwa sektor publik selama ini tidak efisien, produktivitasnya rendah, serta kinerja pengelolanya yang payah. Dengan dilakukannya privatisasi, secara cepat negara akan memperoleh dana segar dalam jangka pendek serta berharap perolehan pajak atas pengelolaan perusahaan tersebut oleh pihak swasta. Secara ekonomis, kegiatan privatisasi memang memberi peluang lebih efisiennya kegiatan usaha, meningkatnya produktivitas, serta tumbuhnya manajemen yang berkualitas. Kondisi ini pada akhirnya diharapkan dapat menambah pemasukan Negara melalui pajak yang ditariknya. Namun, secara pasti, dengan adanya privatisasi, keuntungan usaha akan jatuh ke tangan swasta. Bahkan, jika swasta itu adalah pihak asing, hasil keuntungannya tentu akan dinikmati oleh pihak asing. Contoh untuk kasus ini bisa dilihat dari penjualan saham Indosat yang jatuh ke tangan pihak asing. Rencana privatisasi telah menimbulkan persoalan baru akibat terjadinya tarik-menarik kepentingan berbagai kalangan dalam penjualan aset tersebut. Hal ini bisa diamati terkait rencana penjualan PT Semen Gresik ke Cemex, Divestasi Bank BCA pada tahun lalu, penjualan saham Indosat, dan sekarang Privatisasi PLN. Adanya asing di balik kebijakan unbundling yang mengarah kepada privatisasi merupakan bukti bahwa pemerintah tunduk pada kebijakan asing. Indonesia sebagai negara berdaulat tentu harus punya kekuatan agar tidak mudah dijajah negera lain yang ingin menguasai Indonesia. Solusi Alternatif 1. Menerapkan politik pro rakyat Nampak jelas ketika terjadi privatisasi kebijakan yang diambil akan menyengsarakan rakyat. Indonesia yang selama krisis moneter bergantung pada IMF harus berani membuat manuver untuk tidak patuh pada kebijakan asing. IMF dengan kebijakannya telah menimbulkan kesengsaraan bagi negeri ini. Jaya (2003) menjelaskan bahwa potret buram IMF di Indonesia Pertama, IMF selalu memaksakan pengetatan fiskal dan moneter jika suatu negara mengalami krisis ekonomi. Pengetatan fiskal tersebut dipaksakan kepada negara berkembang agar ada surplus untuk membayar beban peningkatan utang. Padahal, masing-masing negara memiliki struktur ekonomi dan kompleksitas masalah yang berbeda. Akibatnya, kondisi ekonomi yang sudah memburuk malah semakin terpuruk akibat kebijakan pengetatan fiskal dan moneter yang dianjurkan IMF, terutama pada awal krisis. Kedua, pendekatan dengan penambahan beban utang untuk mendukung posisi neraca pembayaran hanyalah perbaikan yg bersifat semu, tidak real, karena bukan hasil peningkatan aliran modal swasta maupun peningkatan ekspor netto. Karena terus-menerus melakukan pinjaman untuk meningkatkan neraca pembayaran, beban utang meningkat berlipat menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar). Ketiga, prasyarat dan rekomendasi kebijakan IMF dalam berbagai Letter of Intent lebih banyak mencakup bidang di luar makroekonomi dan moneter seperti perbankan, pertanian, corporate restructuring, dan industri. Rekomendasi IMF untuk menutup 16 bank pada November 1997 telah menciptakan destabilisasi finansial dan punahnya kepercayaan masyarakat. Akibatnya, ekonomi Indonesia mengalami hard landing, kebangkrutan massal, dan jutaan orang di PHK. Dengan kekuatan politik luar negeri Indonesia dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan yang dilakukan IMF. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja namun seluruh jajaran pemerintahan hendaknya sadar serta bangkit untuk memperbaiki negeri ini. Seleain itu kebijakan yang diambil pemerintah erat kaitannya dengan kebijakan politik. Politik teknologi digunakan untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi di balik seluruh instalasi listrik PLN. Politik investasi digunakan agar Negara memiliki ketahanan energi dan politik ekonomi agar semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Kebijakan terkait penyediaan ketenagalistrikan pemerintah hendaknya mengupayakan kebijakan yang mendukung rakyat. Sehingga rakyat bisa ikut serta dalam pembangunan menyukseskan electricity for all 2020. 2. Memanfaatkan Energi Alternatif Unbundling yang sebelumnya terjadi kenaikan TDL membuat sebagian orang negeri ini berpikir keras untuk bisa menciptakan energi alternatif yang murah dan sederhana. Berbagai penemuan dilakukan oleh beberapa orang. Sebagai contoh Di tepi Sungai Citarik. Kampung yang gelap gulita dan bergantung pada minyak membuat Haji Oon Saepuloh (76) gundah. Terlebih kampungnya terletak di daerah perbukitan yang sulit dijangkau jaringan listrik PLN. Mendengar deru air Sungai Citarik yang mengalir di pinggir desa, kreativitasnya bertunas. Berbekal hobi mengutak-utik benda-benda elektronik, Haji Oon membuat sebuah kincir air berukuran kecil. Walau aliran sungai tak deras, sudah cukup untuk menggerakkan turbin. Dari kincir air yang diciptakannya beberapa rumah di desanya bisa teraliri listrik (www.kompas.co.id). Dari kalangan akademisi ada Ismun yang menciptakan model kincir air dengan sistem sudu bergerak dan baru pertama ada di Indonesia. Alat penghasil energi listrik yang diciptakan Ir Ismun Uti Adan diujicobakan di Selokan Mataram di kawasan Kadipiro, Margodadi, Seyegan, Sleman. Bentuknya tidak berbeda dengan kincir air kebanyakan. Namun, ketika bergerak sudu (kipas) juga ikut bergerak. Apalagi, saat tekanan air menyentuhsudu, daun mekanik pada turbin membuka sehingga air mengalir lancar di antara rongganya. Kipas turbin kincir ciptaan Ismun yang dipatenkan dengan nomor Paten ID 0.007984 tidak dipasang permanen. Sebanyak 36 kipas yang melekat pada enam buah turbin tersebut hanya dipasang pada salah satu sisi. Prinsip kerjanya seperti kaca nako. Karena itu, saat terkena aliran air, kincir ini bergerak sesuai dengan aliran air. Tenaga yang dihasilkan kincir ciptaan Ismun bisa menghasilkan energi 5 ribu watt. Jika satu rumah menggunakan 200 watt, bisa digunakan untuk 25 rumah (www.jawapos.co.id). Tidak hanya itu Indonesia dengan dengan tanahnya yang subur bisa menghasilkan energi biofuel sebagai pengganti nuklir yang menimbulkan dampak negatif. Teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar. Melalui lembaga penelitian hendaknya pemerintah memberikan bantuan dana untuk memanfaatkan energi tersebut. Selama ini energi biofuel masih dikembangkan Negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan laut luas sangat berpotensi mengembangkannya. Angin, panas matahari, gelombang laut, bio-energi, adalah beberapa alternatif yang bisa digunakan. Beberapa sumber energi tersebut bergantung dengan lokasi tertentu. Tidak semua tempat memiliki sumber energi yang banyak untuk beberapa pilihan tersebut. Gelombang laut dan angin mungkin dapat dimanfaatkan oleh daerah pantai. Dengan adanya pemanfaatan energi alternatif kebutuhan listrik akan terpenuhi, serta dapat membentuk pembangkit listrik yang ideal. Pembangkit yang ideal tidak menimbulkan polusi, sumber energi tersedia dalam jumlah yang banyak, dan dapat dibangun dengan teknologi sederhana. Dengan demikian electricity for all 2020 akan terealisasi dengan baik. 3. Ubah kebijakan ekonomi Ekonomi di Indonesia lebih mengarah pada system ekonomi kapitalis. Hal ini dibuktikan dengan penjualan asset negara ke asing dan lebih mementingkan profit. Perubahan kebijakan perlu dilakukan dengan ekonomi yang benar. Terkait dengan listrik Al-Ansari (2006) mengelompokannya ke dalam pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah komoditas yang menjadi hak milik seluruh rajyat, sehingga setiap individu berhak memanfaatkannya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk menguasai atau memilikinya sebagai hak pribadi. Sarana umum listrik adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33. Sebab, dengan privatisasi itu berarti negara menjual aset yang bukan miliknya. Bumi, air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum rakyat Indonesia. PLN sebagai alat Negara adalah hanya pemegang amanah untuk mengelola harta milik umum. Karena itu, dalam kasus unbundling, manakala PLN tidak bisa diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan agar ketersediaan listrik untk rakyat bisa dipenuhi. Subsidi tersebut diambil dari hasil ekspolitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan ketersediaan listrik untuk rakyat terwujud dengan baik demi suksesnya electricity for all 2020. 4. Penyatuan BUMN Ketika inefisiensi dipermaslahkan terkait rencana unbundling, idealnya seluruh aktivitas pembangkitan listrik dibuat terpadu, baik dari rantai produksi sejak dari sumber energi primer maupun interkonektivitas antarwilayah. PLN, Pertamina dan PGN disatukan sehingga PLN tidak perlu membeli gas ke Pertamina dengan harga pasar. Demikian juga dengan kapal tanker atau pengangkut batu bara, pabrik-pabrik pembuat mesin listrik dan peralatan tambang serta perhutani yang menguasai hutan pada daerah tangkapan air PLTA pun seharusnya disatukan dengan PLN. Untuk mendukung usaha tersebut pemerintah dapat mempersiapkan insinyur atau anak bangsa yang berkompeten menanganinya. Sehingga bangsa ini mampu menjadi bangsa yang mandiri serta bebas dari krisis energi. DAFTAR RUJUKAN Al-Ansari, Jalal. 2006. Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah. Al-Islam. Awas, Listrik dalam Bahaya. Edisi 391/XV Al-Islam.UU Kelistrikan merugikan Rakyat. Edisi 112 Al-Khaththath, Muhammad. “Bahaya Privatisasi PLN” . Suara Islam. Edisi 38 tanggal 15 Februari-6 Maret 2008. Balu,V.1997.“Issues and Challenges Concerning Privatisation and Regulation in the Power Sector.” Energy for Sustainable Development III.(6):6-13. Daryoko, Ahmad.”Bahaya Jika PLN Diswastanisai!”. Al-Wai’e. No.91 Tahun VII 1-31 Maret 2008. Jati, Sigit Purnawan. “Privatisasi: Fakta Dan Bahayanya”. Publikasi 11 Januari 2004. www.hayatulislam.net. Jaya, Tun Kelana.”Sejarah Hitam IMF”. Al-Wa’ie edisi 37 tanggal 1-31 September 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.2000.Balai Pustaka. Republika, Edisi 5 September 2002 Dubash, Navroz K.”Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan:Mungkinkah Mendukung Pembangunan Berkelanjutan? “ dalam “Power Politics: Equity and Environment in Electricity Reform” terbitan World Resources Institute. 2002.Jakarta:Pelangi. “Semangat Cari Energi Alternatif”.www.kompas.co.id, diakses pada 23 Februari 2008. “Terispirasi Cara Kerja Kaca Nako”.www.jawapos.co.id, diakses pada 23 Feburuari 2008. http://www.pelangi.or.id/publikasi/2002/Listrik.pdf+pemecahan+PLN&hl=en&ct=clnk&cd=25&client=opera. http://www.indonesia-ottawa.org/economy/LOI/imf_loi_4.htm, diakses 20 Februari 2008. http://www1.esdm.go.id, diakses pada 20 Februari 2008. http://www.kompas.co.id, akses pada 20 Februari 2008. DAFTAR ISIAN PESERTA I Nama : Hanif Kristianto TTL : Lamongan, 7 Desember 1987 Alamat : Desa Tlogorejo, Sukodadi, Lamongan No. Telepon : 085232528742 E-mail : h_nifk@yahoo.com, hanifjepang05@yahoo.co.jp Status : Mahasiswa Angkatan 2005 NRM : 052104205 Jurusan : Pendidikan Bahasa Jepang Angkatan : 2005 Universitas : Universitas Negeri Surabaya Cita-cita : Ilmuwan dan Guru Motto : Hidup sekali harus berarti DAFTAR ISIAN PESERTA II Nama : Panca Kurniawan Julianto TTL : Surabaya, 30 Juli 1986 Alamat : Jalan Kencana Sari Timur XI/30, Surabaya No. Telepon : 031 5614032/031 60493491 E-mail : pancakurniawanj@walla.com Status : Mahasiswa Angkatan 2005 NRM : 052104036 Jurusan : Pendidikan Bahasa Jepang Angkatan : 2005 Universitas : Universitas Negeri Surabaya Cita-cita : Ilmuwan Motto : Cari harapan raih impian