JANGAN ADA PEMISAH

Malam yang sunyi dan senyap di suatu desa terdegarlah suara-suara lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang merdu nan indah. Dari surau kecil di tengah-tengah desa. Nama desanya Sidakarya kecamatan Sidamakmur kabupaten Jember propinsi Jawa Timur. Desanya sangat jauh dari keramaian dan kebisingan kendaraan yang lalu-lalang, yang terdegar hanya kicauan burung dan indahnya pemandangan sekitar desa yang dikelilingi sawah. Di desa ini gadis yang bernama Surti lahir dan dibesarkan. Surti dan Arni merupakan teman akrab mereka kemana-mana selalu bersama-sama baik ketika berangkat ke sekolah maupun berangkat ngaji di surau kecil desanya. Setiap pagi Arni selalu ke rumah Surti untuk diajak berangkat ke sekolah bersama.

Dari kejauhan Arni memanggil Surti dari pekarangan rumahnya “Surti, Surti sudah siap belum

Sudah pukul setengah tujuh cepat sedikit nanti ketinggalan!”

“Ya, ya sebentar aku pamit dulu sama ibu,” sahut Surti dari dalam rumahnya.

“Bu, Surti pamit dulu. Sambil mencium tangan ibunya yang lembut tak lupa ia mengucapkan

Assalamu’alaikum.

Wa’alikum salam, hati-hati ya nduk”, pesan ibunya.

Surti kemudian berjalan bersama Arni dan teman-teman yang lain, mereka melewati hamparan sawah yang hijau nan luas dan padi yang mulai menguning bergoyang-goyang mengikuti irama angin yang berhembus sepoi-sepoi. Sesekali mereka bercanda dan terdengar suara kecil dari mulut mereka.

Malamnya Surti dan teman-temannya berangkat bersama untuk pergi mengaji di surau kecil tengah desa, adalah Ust. Jalil yang mengajar anak-anak mengaji.

********

Pagi-pagi sekali sebelum adzan Surti sudah bangun dari tidurnya dia kemudian pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu karena ia mau sholat tahajjud. Selesai sholat tahajjud ia menunggu datangnya adzan Subuh, ia pun membangunkan kamar emaknya.

“Mak bangun mak sudah Subuh mari mak kita ke surau, pinta Surti sambil mengetuk pintu kamar emaknya.

Setelah emaknya bangun Surti dan emaknya pergi bersama ke surau di tengah desa untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Pagi itu tak seberapa banyak orang yang datang makmum pria hanya ada tiga shaf sedangkan lainnya makmum perampuan Sehabis dari surau Surti mengaji dan membuka buku pelajaran yang akan diajarkan pak guru di sekolah pagi nanti. Tak lama kemudian ibunya memanggil.

“Surti bantu emak nak di dapur emak lagi nyiapin makan pagi untuk mu”.

“Ya mak surti akan datang,” sahut Surti dari dalam kamar.

Selesai membantu Surti lekas menyiapkan makan paginya di meja makan, di meja makan tersedia berbagai macam makanan seperti nasi jagung, tempe goreng, sayur lodeh, dan sambel trasi. Dia pun makan dengan lahapnya sampai-sampai keringat dingin keluar dari dahinya karena pedasnya sambel trasi dan tak lupa lalap daun kemangi. Setelah makan dengan lahapnya dia berangkat sekolah tak lupa dia berpamitan dengan emaknya sambil mencium tangan emaknya yang lembut.

“Mak Surti berangkat ya”.

“Ya nak hati-hati di jalan,”pesan emaknya.

Di luar rumah sudah ada seorang teman Surti, Arni lamanya sudah lima menit dia menunggu Surti di luar. Dahimu kok banyak keringatnya sih, tanya Arni.

“Oh maaf tadi aku makan sambel trasi lalap daun kemangi, jawab Surti.

“Ayo cepat jangan ngomong aja nanti ketinggalan sekarang pukul 06. 45 sebentar lagi bel berbunyi, ucap Arni sembari menyeret tangan Surti.

Selama 5 jam Surti menuntut ilmu di madrasah tempatnya ia tinggal. Di dalam kelas Surti aktif mengikuti KBM yang dibimbing oleh seorang guru di depan kelas. Dalam kesehariannya dia sangat aktif bertanya maupun mengerjakan soal-soal yang diberikan guru di depan kelas.

**********

Hari bertambah hari, minggu bertambah minggu, bulan bertambah bulan dan tahun bertambah tahun, umur Surti menginjak masa baligh begitu juga Arni dan teman-temannya. Mereka sekarang menjadi anak yang agak dewasa dan tak terasa mereka sudah kelas 6 sebentar lagi akan lulus.

Masa-masa madrasah merupakan masa-masa yang paling menyenangkan dimana mereka bisa belajar bersama, bermain bersama, bahkan pergi ke sekolah pun selalu bersama. Pada akhir tahun ini mereka menyibukkan diri dengan khusyuk beribadah dan tekun belajar, agar lulus ujian karena syarat kelulusan bertambah dari 4,01 menjadi 4,51. Dulu teman Surti yang malas seperti Jumil dan Arto yang dikenal nakalnya amit-amit jabang bayi sekarang mulai memperbaiki diri dengan tekun belajar dan khusyuk beribadah serta megurangi hal-hal yang tidak berguna.

Tak lupa mereka memperdalam khazanah ilmu agama di suarau kecil yang diajar Ust. Jalil, sebagaimana. Mereka mengaji al-Qur’an, fiqih, hadits, dan ilmu nahwu. Setiap malam di surau desa dipastikan sangat meriah oleh suara anak-anak yang mengaji, membaca al-Qur’an, menghafal ilmu nahwu. Dalam riuhnya suara anak-anak mengaji menambah suasana desa lebih hidup diiringi oleh gemanya jangkerik dan suara kodok yang mengambang di kali kecil desa.

Ust. Jalil mengawali pengajiannya setelah salat maghrib.

“Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh”.

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”, gemanya suara anak-anak yang menjawab salam ustadz.

“Alhamdulillah kita masih dipertemukan oleh Allah dalam pengajian kali ini semoga pada kesempatan ini kita mendapatkan ridlo dari Allah, ustadz mengawali pengajian.

Amiiin, jawab serentak anak-anak.

Anak-anak sangat beruntung dapat datang ke surau ini dalam rangkah tholabul ilmi karena masa kanak-kanak merupakan masa yang pas untuk menununtut ilmu dibandingkan masa-masa dewasa atau sudah tua. Sebagaimana pepatah arab “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air,” karena menerangkan dengan atraktif sampai-sampai ada anak yang ngantuk dan keluar air liurnya bahkan ada anak yang tidur terlentang di belakang. Begitu juga dengan Surti yang tak lupa mencatat keterangan yang diberikan Ustadz Jalil di lembaran kertas yang ia bawa.

Pengajian pun berakhir anak-anak yang ngantuk terbangun tertatih-tatih, sebelum pulang terlebih dahulu salat isya’ berjamaah dengan imam ustadz Jalil.

*********

Assalamu’ailaikum”, mak Surti pulang.

Wa’alaikum salam”, jawab emaknya dari dalam rumah.

“Nak makan dulu setelah itu jangan lupa kamu belajar pelajaran yang akan diajarkan besok”.

“Ya mak, Surti menganggukkan kepala.

Surti menegerjakan tugas-tugas dan membaca pelajaran yang akan diajarkan besok, tak tersa jam menunjukkan pukul 10.00 mata Surti kiyep-kiyep dan kepalanya anguk-angukkan tanda sudah mengantuk. Langsung saja diambilnya bantal dan guling sebagi teman menuju ke alam penuh fantasi dan imajinasi.

Kokok ayam pagi membangunkan Surti yang lagi berfantasi mata terasa berat badan pun terasa pegal tapi sebagai gadis yang cekatan ia bangun dengan penuh semangat menatap fajar pagi yang memberikan secercah harapan pada insan yang mencari. Dibagunkan emaknya di sebelah kamarnya untuk menunaikan salat subuh berjamaah di surau kecil desa. Seperti biasanya ia membantu emaknya di dapur menyiapkan sarapan pagi. Surti pergi ke sekolah bersama Arni sedangkann emaknya berjualan kue khas Jawa Timur, ada gethuk, serabi, kelanting, dan apem. Ibunya menjajakan keliling desa-desa sekitar. Walaupun dahi penuh dengan peluh diusapnya dengan sapu tangan dan diteguknya air putih untuk menghilangkan rasa dahaga karena sengatan matahari.

Di sela-sela istirahatnya setelah seharian menuntut ilmu di sekolah Surti membantu emaknya membuat adonan kue yang akan dijual emaknya hari esok. Sambil mengaduk adonan di loyang besar dibukanya buku pelajaran yang barusan diajarkan Bapak/Ibu guru di sekolah.

“Sur, kalau kamu lulus ingin sekolah di mana?” Tanya emaknya.

“Anu…..anu…….Surti ingin sekolah di SMP favorit di kota ini, sambil malu-malu mengatakan dan kepalanya ditundukkan.

“Terus siapa yang akan membiayaimu nanti, ibumu sudah tua dari jualan kue saja emak sudah untung dapat makan dan menyekolahkanmu. Sedangkan biaya di sekolah favorit sekarang mahal baru masuk saja kita sudah dikenakan beratus-ratus rupiah bahkan ada yang sampai jutaan”, gerutu emaknya.

“ Tak apalah bu mungkin Surti akan mendapatkan beasiswa dari madrasah karena Pak Rusli pernah bilang jika Surti lulus nanti sekolah akan memberikan beasiswa untuk melanjutkan ke SMP sampai lulus, jawab Surti dengan nada meyakinkan.

“Baiklah kalau begitu emak setuju denganmu, dengan nada sedikit memelas.

Jam menunjukkan pukul 16.30 Surti mengakhiri pembicaraannya dan bergegas menuju blumbang (Jw: kolam kecil) di belakang rumah untuk mandi, dengan air yang tenang dan daun-daun bambu berguguran diiringi angin yang bertiup sepoi-sepoi menambah suasana menjadi lebih dingin dan sejuk. Diguyurkannya air ke seluruh tubuh mengilangkan bau-bau tak sedap yang keluar dan tubuh terasa bersih dan suci.

Lama-kelamaan matahari pun tiada mununjukkan wajahnya berganti malam membawa sang dewi bulan yang terang benderang. Sayup-sayup suara adzan terdengar dari suarau kecil di tengah desa. Diambilnya mukenah dan sajadah ditujunya suarau kecil di tengah desa.

Akhir tahun pun datang menyambut, siswa-siswi madarasah bergegas menyiapkan diri baik secara lahir maupun batin. Berbagai macam cara yang ditempuh ada yang pergi ke dukun meminta mantra dan ada yang ke pak kyai meminta doa supaya dimudahkan Allah dalam belajar dan mengerjakan soal UAN.

Hari yang ditunggu pun tiba soal-soal UAN siap untuk dikerjakan dengan penuh keringat dan berpikir keras. Dicorat-coretnya LJK dengan pemsil 2B sampai hitam dan digosokkannya penghapus Stadler sampai bersih coretan hitam yang jawabannya salah.

Tiba di rumah Surti ditanya emaknya.

“Bagaimana nak UAN-nya sulit tidak?”

“Tidak mak cukup mudah soalnya, tadi malam kan surti belajar jadi tidak sulit mengerjakannya, jawab Surti dengan lirih.”

“Kalau begitu kamu makan sana di meja emak sudah menyiapkan untuk mu.”

“Ya mak.”

Selama tiga hari siswa-siswi madrsah menghadapi soal-soal UAN yang cukup menyulitkan namun mereka cukup gembira karena dapat menyelesaikannya. Pengumuman hasil UAN akan diumumkan sebulan kemudian.

*******

Sudah satu bulan pengumuman hasil UAN belum juga keluar para siswa menunggu-nunggu dengan hati dag-dig-dug tak karuan. Surti mencoba bertanya kepada Pak Rusli, kepala madrasah.

“Pak Rus pengumumannya kok belum keluar?”

“Ooooo…..maaf bapak belum mengambilnya di kecamatan mungkin nanti setelah pulang sekolah, kalau begitu Surti dan teman-teman datang lagi ke madasah besok, janji Pak Rusli

Dengan nada memelas Surti mengatakan “Ya kalau begitu Surti dan teman-teman akan datang lagi.”

Mereka pulang tanpa membawa hasil dan berita gembira. Perasaan tidak lulus masih menggelayuti siswa-siswi yang IQ-nya pas-pasan.

******

Besoknya lagi mereka datang ke sekolah dengan hati yang dag-dig-dug tak karuan. Dilihat dari kejauhan ada tempelan kertas di depan ruang guru, mereka langsung menyerbu ternyata benar di situ dipampang nama-nama siswa yang lulus. Dengan bangga Surti berada di urutan nomor satu dengan hasil yang sangat memuaskan jumlah seluruh nilainya 25,05 yang rata-rata nilainya di atas 8,30 dan Surti mendapat predikat siswa berprestasi di madrasahnya serta ia mendapatkan beasiswa dari sekolah untuk melanjutkan ke SMP favorit di kotanya sebagaimana janji Bapak Kepala Sekolah. Berbeda dengan Arni teman karibnya jumlah nilainya hanya 17,00 dengan rata-rata 5,67 walaupun lulus hatinya tetap sedih karena tidak bisa daftar di SMP favorit di kotanya. Mendengar kabar itu Surti mencoba menghiburnya.

“Ni tak apalah nilaimu jumlahnya lebih sedikit dariku mungkin ini sudah kehendak dari Allah dan Allah ingin menguji hambanya yang beriman.”

Hati Arni sedikit lega mendengar ucapan Surti.

“Trus kamu ingin melanmjutkan kemana? Tanya Surti lagi.”

“Aku ingin ikut orang tuaku ke Palembang dan sekolah di sana, jawabnya.”

“Kalau begitu ku doakan kamu semoga kamu berhasil di negeri seberang.”

“Terimah kasih Sur atas kebaikanmu, jawab Arni dengan nada lirih.”

Seminggu kemudian madrasah mengadakan syukuran karena seluruh siswa lulus dengan memperoleh predikat nilai yang baik. Seluruh siswa sibuk mempersiapkan syukuran mereka akan mengundang bapak kepala desa dan komite sekolah. Mereka juga bagi-bagi tugas ada yang mengantarkan surat dan membuat jajan untuk konsumsi. Surti kebagian membuat jajan karena ibunya jualan kue.

Berbondong-bondong siswa dan wali murid datang ke sekolah tapi Arni tidak kelihatan. Hati Surti bertanya-tanya kemana ya si Arni kok belum juga datang? Ah mungkin sebentara lagi dia segera datang. Tapi sampai Bapak Sekolah selesai memberikan wejangan dia juga belum datang, ah mungkin sebentar lagi ia juga datang tapi sampai acara selesai Arni pun tidak datang. Kemana ya si Arni tanya Surti dalam hatinya? Apakah dia sakit? Ataukah dia sudah ikut bersama orang tuanya ke Palembang? Beribu-ribu pertanyaan menghampiri hati Surti, wajahnya muram hatinya pun gundah karena sahabat karibnya tidak datang pada syukuran kelulusan siwa-siswi madrasah. Wajah-wajah gembira terlihat dari orang tua siswa yang baru saja keluar dari ruangan tempat diadakan syukuran, di sela-sela gerombolan orang Ibu Surti bertanya kepada Pak Arto yang anaknya dikenal nakalnya amit-amit jabang bayi.

“Pak Arto bagaimana hasil anak Bapak?”

“Alhamdulillah Bu anak saya lulus dengan nilai yang cukup baik walau tak sebaik anak ibu, yang penting kan lulus dan bisa melanjutkan ke SMP, jawab Pak Arto”

Di pertigaan jalan desa Ibu Surti berpisah dengan Pak Arto

“Mari Pak Arto tidak mampir toh ke rumah saya, pinta ibu Surti.”

“Ndak bu terima kasih lain kali saja saya ,masih banyak kerjaan di rumah, ditolaknya jawab Pak Arto.”

Dilihat dari kejauhan gerombolan anak-anak oleh Ibu Surti, ia bermaksud mencari anaknya namun tidak ada. Mungkin ia pergi ke rumah Arni karena ia tidak datang pada acara syukuran. Ternyata benar Surti langsung menuju ke rumah Arni. Sesampai di rumah Arni diketuknya pintu rumah Arni.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam, jawab nenek Arni yang tinggal dengan anak keduanya.”

“Silahkan masuk nak.”

“Mbah mbah kenapa tidak datang ke madrasah pada acara syukuran, tanya Surti.”

“Oalah nduk-nduk mbah sudah tua masa datang ke madrasah sendirian apalagi jalan mbah sudah sempoyongan tak karuan, jawab mbah dengan suara yang tersendat-sendat.”

“Loh memangnya tidak ada yang menganterkan toh?, tanyanya lagi.”

“Tidak ada nduk anak mbah sendiri kerja di pabrik rokok sedangkan Arni sudah pergi bersama bapaknya ke Palembang, jawab si mbah .”

“Loh kapan berangkatnya? kok tidak bilang ke saya, tanya Surti lagi dengan nada rada keras.”

“Tadi pagi jam 05.30 WIB setelah salat subuh.”

“Sedangkan STTB-nya belum diambil, STTB kan menjadi syarat untuk masuk ke SMP.”

“Oooo…kalau yang itu nanti STTB-nya diambilkan anak mbah dan dititipkan pamannya yang akan berangkat minggu depan, jawab embah dengan nada meyakinkan.”

“Mbah bisa tidak mbah berikan alamat dan nomor telepon rumah bapaknya di Palembang, pinta Surti.”

“Sebentar ya mbah ambilkan di laci tapi Surti yang baca tulisanya mata mbah sudah agak rabun.” Mbah kemudian mengambilkan buku telepon kecil yang ada di laci.

“Ini nak bukunya silahkan dibaca, suruh mbah.”

Dicatatnya alamat dan nomor telepon rumah bapak Arni di Palembang di secarik kertas yang disobeknya dari buku. Terima kasih mbah, telah memberitahu alamat rumah bapak Arni di Palembang. Lantas dia pulang tanpa pamit dengan mbah.

Surti pulang dengan hati yang sangat kesal dan matanya memerah mengeluarkan air mata tanda kesedihan. Ia pulang dengan tergesa-gesa dengan kaki tersandung-sandung kerikil-kerikil rada tajam. “Tetapi setajam-tajamnya kerikil tak sesedih hati ini di tinggal sang sohib merantau di seberang negeri.”

Dirangkulnya bantal dan guling terdengar isak tangis dari seorang gadis sebagai tanda kekesalan dan kegundahan hati. Tak henti-hentinya air matanya keluar sampai-sampai bantal dan guling basah tak terasa. “Ya Allah tolonglah hamba-Mu ini ditingal sendirian tanpa seorang teman yang selalu bersama dalam suka dan duka, gumannya dalam hati.” Dengan memukul-mukul bantal sebagai pelampiasan. Menedengar isak tangis emaknya menghapirinya di kamar.

“Ada apa nak kok menangis?, tanya emak.”

“Itu mak Surti ditinggal sendirian oleh Arni, dia ikut dengan orang tuanya ke Palembang ia berangkat tadi pagi dan Surti tidak dipamiti, jawabnya dengan suara tersedu-sedu.”

“Kalau begitu Surti tidak usah bingung kan masih banyak teman Surti yang lain seperti Tatik, Erna, dan Yati.”

“Tapi mak mereka kan tidak seperti Arni.”

“Ah…. Itu kan hanya perasaanmu saja belum tentu teman karibmu semasa kecil akan menjadi teman akrabmu selamanya bisa-bisa ia malah menjadi musuh dan bisa jadi teman kamu selama ini yang kamu anggap tidak baik bisa-bisa menjadi teman akrabmu selamanya, emaknya mencoba meyakinkan.

Tangan emaknya mengusap air mata dengan lembut dan kasih sayang sebagai seorang ibu yang penuh perhatian. Kalau bergitu sekarang Surti mandi dan kemudian makan setelah itu jangan lupa tunaikan fardhumu sebagi hamba Allah yang beriman.

“Ya mak.”

Dalam salat ia berdoa semoga Arni diberi ketabahan hati dalam mengahadapi cobaan yang diberikan Ilahi dan semoga saja ia selamat di negeri seberang.

Malam yang dingin dengan angin yang berhembus dengan kencang ia menulis sepucuk surat di bawah sinar lilin yang menerangi.

Jember, 29 Mei 2004

Kepada Arni tercinta

Jl. Pasar Madu No. 17 Gg. Mujur

Palembang.

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Dengan datangnya sepucuk surat ini bagaimana kabarmu di negeri seberang? Semoga baik-baik saja begitu juga denganku. Ni melalui surat ini hati yang terdalamku ingin berbicara bahwasanya hatiku sangat sedih ditinggal oleh sohib sepertimu dan semoga saja kamu jangan merasa sedih karena berpisah denganku. Mungkin ini sudah menjadi bagian dari hidup kita dimana ada perjumpaan pasti di situ ada perpisahan. Beribu-ribu kata ingin kuucapkan tapi apa daya hati ini tak kuat menanggung rasa sedih dan gundah.

Sekian Ni suratku jangan lupa kau membalasnya sebagai rasa kangen dirimu padaku.

Wassalam.

Sohibmu,

Surti

Pagi-pagi ia datang ke rumah paman Arni yang akan pergi ke Palembang menyusul Arni untuk mengantarkan surat yang telah dibungkus rapi dengan motif bunga-bunga yang indah. Ia selalu berharap Arni dapat kembali lagi ke desa. Menemaninya dalam suka dan duka menjalani hidup ini sampai akhir hayat nanti.

Lamongan, Oktober 2004