Emansipasi, Agama, dan Kartini (Kritik atas Tabloid GEMA Unesa) Oleh Hanif Kristianto* Ada hal yang menarik melihat tema yang diangkat pada tabloid GEMA bulan Maret-April 2008. Tema yang menarik yaitu emansipasi. Pembahasan tema tersebut ada yang masih kurang. Data yang disajikan hanya meliihat dari prespektif moral status, hokum, genderisme, sosila budaya, dan etika. Amat disayangkan redaksi tidak melihat dari prespektif agama serta kurang menguraikan lebih jelas akar emanasipasi. Hal ini menunjukkan seolah-olah agama merasa terpinggirkan dalam mengatur kehidupan. Padahal agama juga mempunyai solusi terhadap ketimpangan emansiapasi. Jika pembaca tidak mengetahui akar sejarah seolah menganggap ide ini berasal dari Indonesia dan cocok untuk diperjuangkan. Akar Emansipasi Pembahasan emansipasi memang tidak bisa lepas dari kesetaraan gender dan feminisme. Hal itu ibarat setali tiga uang. Hal tersebut sebagaimaan termaktub dalam definisi Feminisme. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emnasipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria (id.wikipedia.org). kelahiran feminisme bersamaan dengan era pencerahan Eropa. Gerakan ini diperlopori oleh Lady Mari Wortly Montago dan Marquis de Condercet. Kata feminisme awal kali dikreasikakan oleh aktivis gerakan sosialis utopis Charles Fourier pada tahun 1837. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Seiring kemajuan zaman dan tantangan berat bagi para feminisme akhirnya muncul beberapa aliran feminisme. Pertama, Feminisme Libereal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf. Kedua, Feminisme radikal adalah airan yang menawarkan ideologu “perjuangan sepratisme perempuan”. Aliran ini berumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terajdi akibat system patriarki. Tubuh perpuan dijadikan eksploitasi. Aliran ini juga memperngaruhi terbentuknya Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ketiga, Feminisme anarkis adalah aliran yang lebih bersifat politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Keempat, feminisme post-modern ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. Kelima, feminisme Marxis adalah aliran yang memandan gperempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Mereka beranggapan bahwa kapiltalsmelah yang selama ini memperbudak perempuan. Keenam, feminisme sosialis adalah aliran yang berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan. Aliran ini senada dengan ide Marx yang menginginkan masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Ketujuh, Feminisme post-kolonial adalah aliran yang mendasari padnangannya dari penolakan universalitas perempuan. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Dengan demikian sudah jelas bahwa emansipasi berakar dari feminisme yang nyata telah memberikan perubahan besar bagi kehidupan perempuan. Jika ada yang mengatakan emansipasi tidak berasal dari feminisme, tentu pendapat itu dipertanyakan. Oleh karena itu perlu untuk menperjelas fakta terkait emansipasi. Emansipasi merupakan buah dari ketertindasan kaum perempuan Barat. Jika ditelusuri ide emansipasi sejatinya adalah ide-ide yang digelontorkan penjajah barat. Istilah emansipasi merupakan akar dari kesetaraa gender. Istilah ini muncul di dunia Barat. Karena dahulu Barat menghancurkan hak-ahak asasi wanita selaku manusia. Karena itulah, wanita Barat menuntut hak-hak tersebut. Mereka menjadikan tuntunan pembahasan kesetaraan sebagai jalan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Logika Keliru Pendapat yang lebih menyesatkan adalah jika emansipasi selalu dikaitkan dengan Kartini. Hal ini menunjukkan seolah-olah Kartini dijadikan alat tunggangan untuk menajajakan liberalisme bagi wanita. Jika dilihat dari kumpulan surat Kartini akan terlihat jelas perjuangan Kartini sesungguhnya. Kartini memang pernah kagum terhadap Barat, tapi setelah belajar Islam beliau berubah dan mengkritik peradaban Barat yang liberal. Dengan demikian perjuangan Kartini adalah perjaungan yang mulia untuk mengajak kaum wanita kembali pada fitrahnya yaitu sebagai pendidik, pengasuh, dan istri. Kartini pernah menulis surat pada Prof. Anton da Nyonya:Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewaibannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. Hal ini berbeda saat ini. Gaung emansipasi yang kerap digembar-gemborkan oleh kalangan wanita saat ini, sebenarnya bukan madu, tapi adalah racun. Sebab, untuk sekadar merasa tidak terikat dan tidak tergantung kepada lelaki, para wanita banyak yang terjun di sektor publik; khususnya di industri. Merasa bahwa itu adalah sebuah bagian dari kebebasan, kaum wanita banyak yang lupa diri. Jadi tidak mengherankan jika sekarang banyak bermunculan profesi kaum wanita yang sebetulnya telah menjerumuskan mereka sendiri kepada kerusakan. Iklan misalnya, telah merenggut kebebasan wanita. Karena mereka ternyata tetap dikendalikan dengan tuntutan profesinya. Apakah itu yang diinginkan kaum hawa dengan emansipasinya? Rasanya, bagi yang memikirkan secara mendalam akan paham tugasnya sebagai wanita. Bila demikian, emansipasi adalah racun, bukan madu. Jika di antara pejuang wanita yang mengaku sebagai pengagum Kartini tapi tak mau menikah, mengaji, apalagi mengurusi urusan rumah tangga patut dipertanyakan perjuangannya. Jagan-jangan mereka hanya terbujuk oleh uang atau tidak tahu perjuangan Kartini sesungguhnya. Sudah saatnya wanita kembali kepada kodratnya sebagai pendidik, pengasuh, dan istri. Hal tersebut bukan bermaksud merendahkan tetapi ingin mendudukannya sebagai manusia yang patut dihormati. Sebagaimana agama telah mengajarkan bahwa kedudukan wanita dan pria di hadapan Allah adalah sama. Pria dan wanita mempunyai tugas berbeda yang itu talah diatur dalam agama. Jika agama dijadikan landasan hidup maka akan semakin jelas kemaslahatan bagi manusia, karena agama dengan seperangkat aturannya berasal dari Sang Pencipta. Jadi sangat salah jika selama ini ada yang menganggap agama sebagai biang bias gender atau pengekangan. Penutup Sudah banyak bukti ide emansipasi yang berasal dari feminisme membawa kegagalan. Bukti ini terlihat dari tempat asal feminisme (Barat). Kegagalan ini dibuktikan dengan sigle parent, pelecehan seksual, dan kehidupan wanita yang liberal tanpa adanya moral. Anna Rued yang menulis dalam sebuah bukunya-Eastern Mail, ia menyebutkan bahwa "Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja bersama laki-laki di kilang-kilang minyak-yang tidak saja menyalahi kodrat-tetapi bisa menghancurkan kehormatannya." Sebagaimana agama juga memberikan pelajaran yang bisa dipetik Asma yang melontarkan pertanyaan yang membebani kaum wanita. "Ya Rasulullah. Aku mewakili kaum wanita untuk menanyakan kepadamu tentang beberapa hal. Bukankah engkau diutus oleh Allah untuk rahmat bagi manusia-laki-laki dan wanita? Namun dalam beberapa masalah ternyata kami merasa dibedakan dengan laki-laki. Kami sama-sama beriman dan bertakwa, namun kami juga merasa iri dengan perbuatan kaum laki-laki yang seolah menempatkan mereka pada posisi yang baik untuk mendapatkan pahala yang besar. Mereka boleh berjihad, sementara kami hanya mengurus anak-anak dan menjahit pakaian mereka. Mereka diberi kesempatan untuk mendapatkan pahala sholat jumat, sementara kaum wanita tak boleh. Bagaimana ini ya Rasulullah?" Rasulullah tersenyum dan berkata kepada Asma': "Wahai Asma' kau pahami dan sampaikan nanti pada kaummu. Kebaktianmu pada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami kalian (kaum pria)," jawab Rasulullah singkat, namun padat dan bermakna tinggi. Oleh karena itu, kaum wanita harus waspada terhdapa ide emansipasi yang akan menjerumuskan ke dalam kesesatan. Jadi tidak patut menjadikan Kartini sebagai tunggangan menjajakan emansipasi yang keliru. Ada satu pertanyaan yang patut direnungkan. Kenapa di Indonesia ide ini disambut gembira dengan perjuangan atas nama kebebasan wanita? Kembalilah wanita kepada fitrahnya. *) Redaksi Majalah SESASI Fakultas Bahasa dan Seni, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang 2005