Hal menarik terjadi menjelang berakhirnya jabatan presiden SBY. Ada syndrome baru yang menjangkiti pemerintahannya. Syndrome itu Speakerphobia (Ketakutan pada Speaker/pengeras suara).

Speakerphobia berawal dari suar speaker yang keras ketika demo yang dilakukan mahasiswa di depan istana (12/12/2008). Pada siding itu Presiden SBY marah-marah dalam rapat kabinet yang dihadiri Kapolri. Kemarahan itu muncul karena terganggu oleh aksi demo. Dari kasus terseut Kapolri mengeluarkan memo internal yang isinya melarang penggunaan pengeras suara berkapasistas besar di depan Istana. Kenyataannya memo itu diberlakukan di mana pun di Jakarta. Hal ini dapat dilihat pada aksi-aksi besar yang dilakukan ormas maupun mahsiswa. Sungguh terlihat mengherankan jika peraturan yang awalnya berlaku di istana kini diberlakukan di setiap tempat. Pertanyaannya dimana letak konsistensi Polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban? Dalam pelarangan penggunaan speaker, polisi beralasan hal ini mengganggu ketertiban. Padahal tidak ada undang-undang atau peraturan yang melarang warga negara menggunakan speaker untuk menyampaikan aspirasi. Kita mengetahui bersama pemerintah saat ini begitu mengagungkan demokrasi, namun kenyataannya ketika ada orang ingin berendapat dihalang-halangi dengan tidak memeberikan kemudahan alat. Jika yang demikian itu terjadi maka, demokrasi sebetulnya hanya milik penguasa. Oleh karena itu, sebagai seorang Presiden sudah seharusnya mendapatkan kritik dan masukan dari rakyatnya. Karena Pak Presiden digaji oleh uang rakyat dan berkewajiban melayani rakyat. Bukankah begitu? *) Oleh Hanif Kristianto Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang 2005, Universitas Negeri Surabaya-Jatim